Ditengah gempuran berbagai jenis musik komersial, Viky tetap tenang dan berjuang lewat jalur World Music.
Lewat album anyarnya, ‘Indonesian Beauty’, ia ingin sekali lagi membuktikan, bahwa musik tradisional Indonesia tidak kampungan, enak didengar oleh semua kalangan dan mampu menjadi musik yang mendunia.
BEBERAPA tahun silam, setelah Viky Sianipar melepas album ‘Toba Dream’, masyarakat Indonesia menampakkan beragam reaksi. Banyak yang senang dan kagum, tapi tidak sedikit juga yang mengkritiknya sebagai perusak lagu Batak.
Yang terakhir ini justru datang dari etnis Batak sendiri. Sontak Viky sempat merasa tertekan dan stress. “Seperti baru bangun tidur, langsung dibenci semua orang. Baru bikin album, rasanya orang di sekeliling langsung benci. Gimana nggak stress?” ujarnya.
Beruntung penggemar David Foster, The Beatles, dan Anggun ini memiliki keluarga yang menyokongnya secara penuh. “Selain keluarga, dukungan juga datang dari sahabat, musisi-musisi nasional, dan komunitas world music,” paparnya.
Setelah itu, ia kembali bersemangat mengejar cita-citanya mengangkat musik tradisional. Salah satu cita-cita besar yang akhirnya tercapai adalah lahirnya album ‘Indonesian Beauty’ yang launching pada Juli lalu.
Acara yang juga bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke 30 itu digelar di markasnya, Viky Sianipar Music Center, Jl. Minangkabau, Jakarta Selatan.
Di album ini, Viky meluaskan nuansa musiknya ke etnis Indonesia lainnya. Untuk itu ia berkolaborasi dengan musisi-musisi dari berbagai etnis lain, seperti Sujiwo Tejo, Kiki Dudung, Korem Sihombing, Johannes Limbeng, atau Asep B.P Natamihardja.
Juga terlibat Phillipe Ciminato, musisi asal Prancis yang amat mencintai musik tradisional Indonesia. Hasilnya, adalah lagu ‘Es Lilin’, ‘Sing Sing So’, ‘Ngarep Gestung Api Bas Lau’, ‘Gondrang’, ‘Dara Muluk’, ‘Mardalan Ahu’, ‘Horas Banyuwangi’, ‘Bubuy Bulan’, dan ‘Indonesia Pusaka’.
Sebagai music director, Viky juga selektif dalam memilih vokalis. Akhirnya terpilihlah beberapa nama yang disesuaikan dengan karakter lagu masing-masing. Yaitu Lea Simanjuntak, Tio Fanta Pinem, Sujiwo Tejo, Ani Sukmawati, dan Korem Sihombing.
Ani Sukmawati dipercaya membawakan single pertama yaitu ‘Es Lilin’. Ani ditemukan melalui jaringan seniman, dianggap sebagai sosok paling ideal untuk membawakan lagu Jawa Barat.
Sedangkan Tio Fanta Pinem, menurut Viky merupakan diva dari tanah Karo yang sukar dicari tandingannya. “Karakter suaranya unik dan susah, saya memang ingin ia yang menyanyikan lagu ‘Ngarep Gestung Api Baslau’,” paparnya.
Lea Simanjuntak yang terpilih menyanyikan lagi ‘Sing Sing So’ menurut Viky memiliki skill dahsyat dan tiada duanya. “Karakter suaranya sangat cocok dengan jenis musik ini,” tambahnya.
Lagu ‘Bubuy Bulan’ dinyanyikan Deasy Puspitasari, yang tidak lain adalah istrinya sendiri. “Jadi waktu menikah dulu, kami membuat souvenir CD lagu yang isinya lagu ‘Bubuy Bulan’ itu. Setelah itu, saya berfikir, asyik juga kalau lagu itu dimasukkan juga dalam album ini,” paparnya.
Viky mengakui banyak menemui kesulitan dalam menentukan vokalis. “Attitude dan disiplin itu penting, kalau nggak bisa diajak kerja sama ya susah juga,” paparnya.
Sesuai cita-citanya, judul album ‘Indonesian Beauty’ memang bertujuan menonjolkan keindahan musik tradisional Indonesia yang sangat kaya. Selain itu ‘Indonesian Beauty’ juga memiliki tujuan moral. Agar masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda mulai memperhatikan dan mencintai nilai-nilai luar biasa yang terpendam dalam musik tradisional Indonesia.
“Pada intinya saya ingin memajukan musik-musik tradisional Indonesia. Saya ingin menunjukkan kalau musik tradisional itu nggak kampungan, bisa diterima di kalangan anak muda. Kalau nggak ada anak muda yang suka dari sekarang, 30 tahun lagi punah. Memang kedengarannya muluk-muluk ya buat anak gaul. Tapi kalau nggak didengar dulu ya nggak tahu,” jelasnya.
Sisi komersial juga pasti tidak luput dari perhatian. Karena itu Viky tetap mengemas musiknya secara sederhana dan easy listening. “Mungkin 50 persen isi album ini chord-nya nggak ribet. Makanya saya juga mengambil lagu-lagu tradisional yang memang sudah terkenal,” ungkapnya.
Menyelaraskan musik tradisional dengan musik modern
Menyelaraskan musik tradisional dengan musik modern diakuinya teramat sukar. “Terutama Jawa, lamanya itu teknis tuning gamelan. Ada alat musik namanya saron, itu susah banget tuningnya. Jadi lebih kepada teknis aransemen dan recording,” tuturnya.
Lagu pertama ia coba eksperimen adalah ‘Horas Banyuwangi’. “Itu sampai tiga bulan, bongkar pasang, nggak jadi-jadi. Awalnya saya pikir seru banget, Batak ketemu Banyuwangi.
Ternyata, teknisnya aduh.., sampai sekarang masih revisi mixing, akhirnya baru semalam dapatnya,” akunya. Jika ketemu lelahnya, ia sempat berfikir untuk tidak mau lagi membuat lagu Jawa. “Kapok deh nggak mau buat lagi,” candanya sambil tertawa.
Otomatis ia juga secara intensif memperdalam kesenian Jawa dan Sunda. “Saya pasti mengajak musisi lokal, dan rajin eksperimen, kalau nggak ya kesasar,” ujarnya.
Selepas single ‘Es Lilin’ dan ‘Ngarep Gestung Api Baslau’ yang video klipnya terlebih dahulu selesai dibuat, Viky merencanakan akan menggarap video klip ‘Gondrang’, ‘Bubuy Bulan’ dan ‘Sing Sing So’. Materi album ‘Indonesian Beauty’ini menurut Viky sudah dicicil sejak jauh hari. “Tapi kalau yang serius banget, nggak mikir yang lain kecuali ini, ya mulai Maret lalu,” paparnya.
Penggemar buku Harry Potter ini juga menceritakan beberapa keunikan. Menurutnya semua alat musik Batak, pada awalnya diciptakan untuk ritual. Karena itu banyak orang tua yang kaget melihatnya main gondang, alat musik tradisional Batak.
“Percaya nggak percaya, tapi memang mistisnya kuat. Kalau nggak cocok sama alat musiknya, kadang-kadang suka ngantuk, atau marah-marah sendiri,”ungkapnya. Proses recording juga unik.
Ia menuturkan jika guide musik dari vokalis pada saat menyanyi pertama kali lebih terpakai ketimbang take ulang soul-nya terasa beda.
Mengenai kritik dan dukungan, ia menyatakan jika membuat sesuatu yang baru itu pasti ada pro dan kontra. “Apalagi saya mengaransemen lagu Batak. Pastilah ada yang nggak setuju, terutama yang sudah berumur (generasi tua –red).
Mungkin karena begini, orang Batak itu banyak yang merantau. Karena mereka sadar kalau stay di sana, nggak akan maju. Namanya perantau, pasti banyak yang homesick. Musik
Jadi inginnya dengar lagu yang waktu zaman dulu di kampung. Harus persis sama, jangan dianeh-anehin. Sejelek apapun itu, pasti terasa enak, karena mengingatkan tentang kampung halamannya.
Giliran sudah mendengar yang diaransemen ulang, dia dengan cepat berfikir sudah nggak enak lagi. Maka terceploslah istilah merusak lagu Batak itu,” ungkapnya.
Seorang arranger lagu-lagu Batak yang sudah sangat berpengalaman pernah datang ke tempatnya. Setelah saling tukar fikiran, ia akhirnya memahami kalau Viky sebenarnya bukan merusak lagu Batak seperti yang sering diperbincangkan komunitas penyanyi Batak.
Berlawanan dengan itu, tanggapan etnis Sunda justru merasa respek dengan single ‘Es Lilin’. “Saya sangat menghargai semua pendapat, itu membuat saya lebih baik,” tutur musisi yang telah menghasilkan album ‘Toba Dream 1’, ‘Toba Dream 2’, ‘Nommensen’, dan ‘Hatahon Ma’ ini.
World Music
Warna musik yang ditampilkan Viky Sianipar baik dalam pagelaran maupun rekaman, adalah jenis musik yang lazim disebut World Music atau New Age. World Music adalah musik etnik tradisional yang bergandengan dengan musik modern.
Dunia mengenal Enigma, Enya, Kitaro, dan Sergio Mendez, sebagai musisi yang menekuni jenis musik ini. Mendengarkan musik Viky Sianipar seakan menyadarkan bahwa musik tradisional juga ternyata sangat nikmat untuk didengarkan.
Viky Sianipar, lahir di Jakarta, 26 Juni 1976, anak bungsu dari Monang Sianipar dan Elly Rosalina Kusuma. Viky mempunyai tiga saudara, Sahat Sianipar, Bismark Sianipar, dan Tria Sianipar. Setelah tamat sekolah, atas anjuran orang tuanya, Viky langsung bekerja di perusahaan orang tuanya.
Namun menyadari obsesinya terhadap dunia musik, orang tua dan seluruh keluarga merelakannya untuk menekuni bidang musik yang diimpikannya. Sejak tahun 2002, Viky sepenuhnya mengabdikan hidupnya di dunia musik.
Viky Sianipar memulai pendidikan musik klasik pada tahun 1982 di Yayasan Pendidikan Musik (YPM). Pada tahun 1990 Viky mengambil kursus piano jazz di sekolah musik Farabi selama satu tahun.
Pada tahun 1995, Viky berangkat ke San Francisco untuk memperdalam bahasa Inggris. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Viky mengikuti kursus gitar blues. Dalam masa itu, ia sempat berguru kepada George Cole, seorang gitaris kenamaan, yang murid Joe Satriani.
Viky dilahirkan sebagai seorang musisi berbakat yang banyak belajar secara otodidak. Dimulai dari belajar piano, kibor, gitar, sampai beragam jenis alat musik tradisional Batak. Dengan ketekunan yang luar biasa, ia terus menerus mempelajari jiwa dari alat musik tradisional Batak.
Tahun 1997, ia bersama grup MSA Band melanglang buana dari satu cafe ke cafe lainnya. Setelah tiga tahun, MSA Band berhasil menelurkan album ‘Melangkah di Atas Pelangi’ di bawah label Universal Music. Setelah MSA Band bubar pada awal tahun 2002, Viky mulai memperdalam musik Batak. Untuk itu, ia menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk ‘bertapa’ di Danau Toba.
Di sekitar danau kebanggaan Indonesia ini, ia mencoba menghayati keindahan alam dan suasana damai yang menyeruak. Juga kehidupan sehari-hari masyarakat, serta kekayaan seni musik yang luar biasa dari beragam etnis Batak. Dari sana ia sangat terinspirasi untuk mengemas ulang lagu tradisional Batak menjadi sebuah musik yang mendunia. Musik
Sepulangnya dari Danau Toba, Viky telah siap dengan konsep dan jiwa baru dari musik Batak. Ia lalu berkolaborasi dengan beberapa musisi tradisional Batak yang telah terkenal.
Pada 26 September 2002, ia berkesempatan mengenalkan musiknya pada masyarakat lewat konser ‘Save Lake Toba’ di Puri Agung, Sahid Jaya Hotel. Bulan Juli 2003, ia mendapat kehormatan membuat musik dan aransemen Mars Pemilu 2004.
Usai sukses menghasilkan ‘Indonesian Beauty’, Viky kini mulai merakit ambisinya untuk masa mendatang. Pecinta film, arsitektur dan traveling ini ingin segera meluncurkan ‘Toba Dream 3’, disambung dengan ‘Indonesian Beauty 2’. “Yang sudah ada di benak, Kalimantan, Ambon, dan Papua,” ujarnya.
Karena itu tidak heran jika Sujiwo Tejo menegaskan betapa beruntungnya bangsa Indonesia memiliki orang seperti Viky. “Disaat kita sudah tidak punya kebanggaan apa-apa lagi, Viky membuat kita bangga menjadi orang Indonesia,” seru seniman serba bisa tersebut.
Bella Saphira, teman dekat Viky juga menuturkan kalau sahabatnya tersebut merupakan talenta musik luar biasa. “Dia bisa mengakomodasi semua keinginanku dalam aransemen lagu, tanpa harus panjang berkata-kata,” ujar artis dan penyanyi bermata indah tersebut. FAISAL
Diskografi
Toba Dream (2002)
Toba Dream II (2003) - Didia Ho
Nommensen (2004) feat. Tongam Sirait
Datanglah KerajaanMu (2005) (Album Rohani - feat. SMB Vocal Contest 2005) Jakarta Finalists
Viky Sianipar feat. Dipo Pardede
Indonesian Beauty (2006)
Videografi
Viky Sianipar feat. Dipo Pardede Hatahonma
Tongging Hill
Piso Surit
Beta Hita
Es Lilin
Ngarep Gestung Api Baslau
Sumber : Popular
0 comments:
Posting Komentar