Kesukaan terhadap kelompok yang didukung 9 personil ini kian memuncak saat Earth Wind and Fire yang didukung produser David Foster merilis album I Am (1979) yang kemudian menghasilkan hits terbesar mereka, “After The Love Has Gone”, lagu yang sesungguhnya ditulis bukan oleh Earth Wind and Fire melainkan oleh triumvirat David Foster, Jay Graydon dan Bill Champlin.
Dan yang bikin saya terpekur adalah kenapa baru tahun 2012 ini saya menonton konser Earth, Wind and Fire yang diundang oleh Original Productions, disaat band yang dibentuk oleh maestro Maurice White ini hanya menyisakan tiga personil asli yaitu Philip Bailey (vokal utama, perkusi), Verdine White (bass) dan Ralph Johnson (perkusi, suara latar).
Sebelum kelompok soul funk kontemporer ini manggung di Tennis Indoor Senayan (28/3) lalu, sejak tahun 2005 penonton Indonesia telah berkali-kali dihibur oleh tribute band yang menggunakan nama Earth Wind & Fire Experience yang dimotori mantan gitaris Earth Wind and Fire, Al McKay. Yang bikin gemes, banyak yang menyangka itulah Earth Wind and Fire yang orisinal.
Walaupun tidak didukung lagi oleh inspirator Maurice White sejak 1995 karena mengidap Parkinson, Earth Wind and Fire yang terbentuk di Chicago ini masih terus berkibar dipelataran industri musik dunia. Mereka masih manggung dan merilis album, antara lain dengan menggamit sosok belia dalam konstelasi music R&B seperti Raphael Shaddiq hingga will I.am dari The Black Eyed Peas.
Meskipun tinggal bertiga, toh Earth Wind and Fire masih menyisakan roh musik dari 6 personil lainnya yang telah pensiun seperti Maurice White, Al McKay, Larry Dunn, Fred White, Andrew Woofolk dan Johnny Graham. Satu-satunya personel Earth Wind and Fire yang telah bergabung dengan grup ini sejak awal terbentuk adalah Verdine White, adik dari Maurice White.
Jelas banyak pergeseran dalam aura Earth Wind and Fire yang sejak era 70an selalu tampil dengan atmosfer mistik Afrika dan Mesir lewat mode busana maupun sampul album yang sarat simbolistik. ”Itu semua gagasan dari Maurice White,” ungkap Verdine White saat berbincang dengan saya di belakang panggung. Bahkan jumlah personel Earth Wind and Fire sebanyak 9 orang itu pun karena White meyakini 9 adalah nomor? istimewa pembawa berkah.
Di era 70an Verdine White kerap melakukan trick saat bermain bass antara terbang tanpa gravitasi. Fashion, simbolistik dan trick panggung yang teaterikal sudah tak terlihat lagi ketika Earth Wind and Fire menumpahkan sederet hits dihadapan sekitar 3500 penonton yang memadati arena Tennis Indoor Senayan Jakarta.
Ralph Johnson dan Philip Bailey menggunakan kostum yang semi formal, mengenakan rompi. Namun sesekali mereka melakukan sedikit koreografi khas Afro-American. Philip Bailey pun masih memainkan Kalimba, semacam piano genggam yang dipencet dengan kedua ibu jari. Kalimba adalah instrumen tradisonal Afrika yang kerap dibawa Maurice White dalam rekaman maupun konser Earth Wind and Fire.
Lagu “Boogie Wonderland” dari album I am (1979) menguak pertunjukan Earth Wind and Fire yang disambut hangat penonton. Lagu ini sempat jadi hits besar dimana-mana termasuk Indonesia. Di tahun 80an rasanya hampir semua radio anak muda memutar lagu ini. Sederet hits lainnya pun berkumandang seperti "Sing A Song," "Shining Star," "Serpentine Fire."
Di saat menyanyikan "Brazillian Rhyme," kelompok ini memperlihatkan kemampuan memecah vokal secara hormonal dengan melafalkan sylabel tanpa makna. Philip Bailey kemudian memainkan Kalimba secara solo dan disambut dengan beat Latin yang eksotis dan berlanjut dengan lagu “Evil” serta disusul “Keep Your Head Up To The Sky”.
Ini adalah lagu-lagu Earth Wind and Fire di era 70an dari album Head To The Sky (1973)? yang kurang populer di Indonesia. Banyak penonton yang tak memahami lagu ini.?
Suara falsetto Philip Bailey kemudian memecah gedung saat menyanyikan “Devotion” dan “That’s The Way Of The World”. Tanpa adanya Maurice White, Philip Bailey berakrobat bergonta ganti pitch vocal dari suara tenor ala Maurice White dan seketika berubah dalam falsetto. Yang mengagumkan, kemampuan vokal? Philip Bailey masih belum berkurang sama sekali.
Suasana konser yang beratmosfer pesta berubah menjadi romantis saat Earth Wind and Fire menyuguhkan nomor balada terbesar mereka yaitu “After The Love Has Gone” dan “Reasons”.
Tak ketinggalan pula adaptasi Earth Wind and Fire atas karya Lennon McCartney “Got To Get You Into My Life” (The Beatles) yang pernah mereka bawakan saat muncul dalam film layar lebar Sgt Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1978). Lagu ini bahkan sempat meraih Grammy Award di tahun 1978.
Sayangnya penonton kurang mengenal lagu ini. Tetapi ketika introduksi lagu “Fantasy” menguak, respon penonton sangat antusias. Apalagi setelah berlanjut dengan hit besar lainnya seperti “September” dan “Let’s Groove” yang jadi hit di tahun 1981.
Musik yang dimainkan Earth Wind and Fire terasa eklektik. Sejak merilis debut album di tahun 1971 hingga sekarang, mereka terlihat terampil merajut berbagai benang musik mulai dari soul, funk, Brazillian, rock hingga jazz sekalipun yang kemudian terbagi dalam dua pilah beat yaitu upbeat dan ballad.
Penampilan Earth Wind and Fire yang didukung sederet session player seperti Robert Burns Jr (trumpet), Gary Bias (saxophone), Reginald Young (trombone), Myron McKinley (keyboards), Benjamin David Whitworth Jr (vokal,perkusi), Greg Moore (gitar), Morris O’Connor (gitar), John Le Van Paris (drums) dan Philip Doron Bailey (perkusi) putera dari Philip Bailey, berakhir dengan encore “In The Stone”.
Walau tinggal bertiga dan ketiganya baik Bailey, White dan Johnson telah berusia 60 tahun, namun? Earth Wind and Fire masih memperlihatkan gradasi musikalitas yang luar biasa. Rolling Stone sendiri pernah memuji inovasi musik yang ditebar Earth Wind and Fire: ”innovative, precise yet sensual, calculated yet galvanizing".
(RS/RS)
View the original article here
0 comments:
Posting Komentar