4.11.2012

Legenda Perfilman Indonesia, Misbach Yusa Biran, Tutup Usia


 Jakarta - Sineas dan penulis naskah legendaris yang juga dikenal sebagai pelopor dokumentasi film Indonesia, Misbach Yusa Biran, telah meninggal dunia pada Rabu (11/4) pagi tadi pukul 07.12 WIB di Eka Hospital, Bumi Serpong Damai, Banten. Ia wafat dalam usia 78 tahun.

Selain menjadi tokoh penting perfilman dalam negeri, pria kelahiran Rangkasbitung pada 11 September 1933 ini juga menggeluti seni drama dan sastra dengan aktif.


Misbach mulai menyutradarai sandiwara ketika masih duduk di bangku sekolah pada awal dekade ‘50-an. Di samping itu, ia juga menulis resensi film dan karya sastra. Setelah lulus sekolah ia memilih film sebagai jalan hidupnya.


Selama dua tahun dari 1954 hingga 1956, Misbach bekerja di Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) pimpinan Usmar Ismail, berawal sebagai penulis naskah, kemudian menjadi asisten sutradara, dan anggota Sidang Pengarang. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Perfilman H. Usmar Ismail Jakarta, anggota Dewan Film Nasional, dan Ketua Umum Karyawan Film dan Televisi dari 1987 hingga 1991.


Misbach mendirikan Sinematek Indonesia, disebut-sebut sebagai museum film pertama di Asia, dengan dukungan Gubernur Ali Sadikin.


Misbach menulis naskah pertamanya pada 1955 yang diadaptasi dari cerpen Sjumandjaja berjudul Kerontjong Kemayoran. Naskah tersebut kemudian diangkat menjadi film bertajuk Saodah.


Di sepuluh tahun kariernya sebagai sutradara sejak 1960 sampai 1970, Misbach telah menyutradarai sembilan film yang masing-masing berjudul Pesta Musik La Bana, Holiday in Bali, Bintang Ketjil, Panggilan Nabi Ibrahim, Apa Jang Kau Tangisi, Dibalik Tjahaja Gemerlapan, Menjusuri Djedjak Berdarah, Operasi X, dan Honey Money and Djakarta Fair.


Pada tahun 1971, Misbach sempat memutuskan untuk tidak menyutradarai film karena menolak untuk mendukung industri perfilman yang saat itu semarak dengan produksi film porno.


Pada tahun 2010, Misbach meraih penghargaan status Fellows dari Asosiasi Arsip Audiovisual Asia Tenggara-Pasifik (Southeast Asia-Pacific Audiovisual Archive Association, SEAPAVAA) di Bangkok, Thailand. Program penghargaan ini ditujukan sebagai bentuk pengakuan bagi para individu luar biasa atas kontribusi penting melalui berbagai cara di bidang arsip audiovisual, dan atas kepemimpinan mereka dalam komunitas profesional pengarsipan.


Misbach meninggalkan seorang istri, aktris Nani Widjaja, yang dinikahinya pada 1969. Mereka menghasilkan enam anak yang dua di antaranya juga bergelut di industri film sebagai aktris, yaitu Cahya Kamila dan Sukma Ayu yang meninggal dunia delapan tahun silam pada usia belia 24 tahun.


Sejumlah penggiat sinema modern Indonesia pun turut berbelasungkawa atas kepergian senior mereka ini, seperti sutradara Riri Riza yang melalui akun Twitter pribadinya di @rizariri menulis: “Turut berduka untuk keluarga yang ditinggalkan. Warisan Pak Misbach tak ternilai bagi dunia film Indonesia. Terima kasih H. Misbach Yusa Biran.”


Begitu juga dengan kolaborator Riri, produser Mira Lesmana, via @MirLes: “Sungguh berduka dengan kepergian Pak Misbach Yusa Biran, guru dan penyemangat kami dalam berkarya. Istirahat dengan tenang Pak Misbach.”


Edwin selaku sutradara yang belakangan menjadi buah bibir berkat turut serta filmnya, Kebun Binatang, pada kompetisi utama Berlinale juga menggunakan Twitter untuk berduka cita. “Sekali lagi sebuah kehilangan untuk film Indonesia. Duka cita atas meninggalnya Pak Misbach,” kicaunya melalui @babibutafilm.


Seniman papan atas Indonesia, Goenawan Mohamad, bahkan melaksanakan kultwit mengenai Misbach dengan tanda pagar #myb.


 


View the original article here

0 comments:

Posting Komentar